Drama Walikota Padang dan Sekda-nya

September 07, 2021

Akhir akhir ini Sumatera Barat jadi spotlight pemberitaan nasional. Ada kabar baik seperti ketangguhan Lord Adi yang bertarung hingga 3 besar Master Chef Indonesia dan merelakan dua putrinya melaju ke Grand Final (buat yg belum tau, Lord Adi berasal dari Tanah Datar Sumbar). Lalu ada berita kurang sedap seperti pembelian mobil dinas baru Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar yang katanya gak lihat-lihat situasi kondisi).



Ada sebuah berita kurang sedap lagi dari ranah pemerintahan Sumbar. Mungkin banyak juga diantara Bapak/Ibu yang tidak tau tentang berita ini.



Kisahnya melibatkan 3 aktor utama. Pertama adalah Pak Amasrul sebagai Sekretaris Daerah Kota (sekdako) Padang, lalu ada Pak Hendri Septa sebagai Wako Padang, dan Pak Mahyeldi sebagai Gubernur Sumbar. Sebelum dilantik jadi Gubernur Sumbar pada awal 2021 lalu, pak Mahyeldi adalah Wali Kota (wako)  Padang dan Pak Hendri adalah wakilnya. Pak Mahyeldi naik jadi gubernur, otomatis pak hendri jadi Wako Padang.



Setelah resmi menjabat, konon katanya Pak Hendri ingin mutasi pejabat di jajaran pemerintahannya. Wajar saja, karena memang salah satu wewenangnya beliau dan agar janji-janjinya dapat dijalankan. Untuk penetapan pejabat baru ini, Pak Hendri butuh tanda tangan Pak Amasrul sebagai sekda. Pengakuan Pak Amasrul, beliau tidak mau ttd karena merasa ada mutasi tersebut melanggar hukum / belum sesuai aturan. Kata beliau di sebuah wawancara, beliau ingin semua berjalan sesuai aturan, namun malah dituduh melanggar oleh Wali Kota. “Tentu tidak mau saya menandatangani, padahal ada aturan setiap orang yang dimutasikan itu mintak rekomendasi dulu kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), diatur dalam PP 11 Tahun 2017,” ujarnya



Lalu Pak Hendri memutuskan untuk menon-aktifkan (pembebasan sementara selaku Sekretaris Daerah Kota Padang) Pak Amasul sebagai sekda karena beliau akan diperiksa pada kasus dugaan pelanggaran Disiplin PNS sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pelanggaran disiplin yang disangkakan kepada Pak Amasrul disinyalir karena tidak mau tanda tangan surat mutasi pejabat sebelumnya itu. 



Berita ini jadi ramai di Sumbar karena kedua belah pihak saling lempar statement di media massa. Beberapa pihak ketiga pun ikut berkomentar. Salah satunya dari anggota DPRD Kota Padang Komisi I, Budi Syahrial. Pak Budi mengatakan secara pribadi, dirinya menyayangkan tindakan perseteruan ini. Namun secara politis, seharusnya sekda juga jangan melakukan penentangan kepada wali kota. Tindakan Pak Amasrul yang menolak tanda tangan surat mutasi tentu akan dianggap perlawanan oleh wali kota. Jadi siapapun yang akan menjadi wali kota, pasti akan mengganti bawahan yang tidak loyal kepada atasannya. Sementara itu Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, Yefri Heriani, mengatakan bahwa Penonaktifkan Sekretaris Daerah (Sekda) oleh Walikota Padang, Sumatera Barat, berpotensi maladministrasi. Menurut beliau, kepala daerah memang memiliki kewenangan untuk mengganti sekda jika bekerja tidak profesional dan maksimal. Namun, sekda diangkat melalui mekanisme atau prosedur yang jelas. Beliau menambahkan “Sejak dilantik jadi Wali Kota Padang, dia sudah dapat peringatan dari KASN dalam mengganti pejabat di jajarannya,". 



Lalu pada 23 Agustus kemarin, datang kabar bahwa Pak Amasrul sudah dilantik sebagai Kepala DInas Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Sumbar oleh Pak Gubernur Mahyeldi, bos lama beliau di pemko. Secara kelas jabatan sebenarnya Pak Amasrul gak naik pangkat juga, jabatan Sekdako hitungannya Eselon IIa dan Kepada Dinas Provinsi juga Eselon IIa. Tapi beliau pindahnya naik ke Pemprov, tunjangan daerahnya mungkin berbeda, hehehe. Di media massa disebutkan bahwa mutasi pejabat oleh Gubernur Mahyeldi sudah mendapat persetujuan atau rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) tanggal 9 Agustus lalu dengan Nomor B-2682/KASN08/2021 dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada 23 Agustus dengan Nomor 821/4533/SJ.



Harusnya win-win solution ya, Pak Hendri akhirnya bisa milih sekda baru karena sekda definitifnya sudah dipindah, dan Pak Amasrul dapat jabatan baru, naik ke pemprov lagi.  Namun ternyata Pak Hendri sebagai atasan lama Pak Amasrul merasa belum memberi izin. “Saya juga bingung, saya juga heran, aneh bin ajaib. Ini saya tidak mau berpolemik, sebenarnya beliau harus tahu diri, kan beliau masih menjabat sekda,” kata Pak Hendri Septa, Selasa (24/8/2021) di langgam.id berikut Menurut Pak Wako, Pak Amasrul masih menjabat sebagai sekda meskipun statusnya non aktif atau dibebastugaskan. Artinya sekarang beliau rangkap jabatan yaitu menjadi sekda nonaktif dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Sumbar. Pemprov Sumbar yang ikut terseret menyatakan bahwa mutasi Pak Amasrul sudah ada izin dan rekomendasi KASN dan Kemendagri jadi tidak ada aturan yang dilanggar.



Polemik ini menurut saya pribadi sangat menarik. Ketidakcocokan antara kepala daerah baru dengan pemimpin organisasi perangkat daerah nya sepertinya hal umum dan saya yakini banyak terjadi di daerah lain. Namun semuanya selesai sebelum muncul asap di permukaan. Kasus Pak Amasrul dan Pak Hendri Septa ini menarik karena mereka sama-sama terbuka untuk menyampaikan media massa.

 


Polemik ini belum sampai di ujung akhirnya. Menarik menunggu bagaimana kasus ini berakhir. Apakah akan ada sanksi bagi dugaan pelanggaran disiplin Pak Amasrul yang berakibat pada jabatan barunya. Atau berakhir win-win solution seperti saat ini saja. Menarik untuk menunggu kelanjutan dari drama ini.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.