Cerita Fiksi : Laporan Perjalanan Dinas

November 15, 2019




PRAKATA

Sedari kecil, tidak pernah terbayangkan oleh saya untuk menjadi seorang pegawai negeri. Pakai seragam coklat-coklat setiap hari, berdiam di kantor dari pagi sampai sore,  dan upacara setiap tanggal 17. Membayangkannya saja saya sudah bosan.


Tapi jalan hidup membawa saya menjadi pegawai negeri dan mengabdikan waktu untuk kepentingan umum. Dan bayangan saya tentang pegawai negeri waktu masih lugu tersebut sangatlah berbeda dengan keseharian yang saya alami di kantor ini. Termasuk diantaranya harus kesempatan mengunjungi berbagai daerah hingga ke pelosok Indonesia dengan tajuk Perjalanan Dinas.


Tahun dan tahun menjalani profesi ini, ada banyak kisah menarik yang saya alami dan sayang sekali untuk tidak diabadikan di dunia maya ini. Demi menjaga privasi dan supaya lebih menarik dibaca,ceritanya saya rangkai sedemikian rupa sehingga tidak layak disebut diary dan lebih tepat disebut Cerita Fiksi.



Saya yakin jika teman-teman membaca seri tulisan ini dari bagian ke bagian akan merasa ceritanya garing dan agak maksa. Saya harus akui merasa demikian jika membacanya. hehehe. Namanya juga belajar.


Semoga suka...



CHAPTER 1 : PERTAMA



Jarum pendek jam dinding di ruangan kerja kami hampir menyentuh angka 2 dan saya masih belum beranjak dari meja yang baru saya tempati kurang dari 2 minggu ini. Padahal, saya dan bos harus mengejar pesawat dengan jadwal take off 15.10 dengan tujuan Bandara Depati Amir Bangka dalam rangka perjalanan dinas dan ini adalah pengalaman pertama saya. Alasannya karena bos saya masih menerima tamu di ruangannya. Baru pada pukul 14.05, Pak Saragih keluar ruangan dengan terburu-buru dan teriak-teriK panggil nama saya untuk segera turun ke bawah dan jalan ke Bandara Soekarno Hatta dengan mobil pribadinya yang telah dilengkapi dengan supir pribadi juga.


Praktis kami cuma punya waktu satu jam kurang sebelum ditinggal pergi duluan oleh pesawat yang kami tumpangi. Pak Saragih memerintahkan Pak Supir, saya lupa nama pak sopirnya karena sopir beliau sering ganti, untuk mengambil rute lewat toll dalam kota dan masuk dari Pintu toll semanggi. Saya baru dua minggu saja merasakan hawa panas Cikini, alamat kantor kami, hanya bisa mengiyakan dan setuju dengan semua pilihan rute Pak Saragih.


Dan 20 menit perjalanan, kami sudah tertahan macet di Jalan Sudirman. Pak Supir menghidupkan "Mode Mengemudi Bajaj" nya dan nyelap-nyelip di antara barisan mobil yang sabar menetap di jalurnya. Saya sudah mengikhlaskan semua kemungkinan terburuk yang terjadi, termasuk dialihkan ke penerbangan berikutnya atau malah gagal berangkat.


Pukul 14.30, kami sudah masuk tol dalam kota dari pintu tol semanggi. Pak Supir menginjak pedal gas sangat dalam hingga kecepatan 120km/jam hingga badan saya nempel dengan kencang ke kursi, seperti naik wahana di Ancol. Alhasil, kurang dari 15 menit, kita sudah sampai pintu tol Bandara. Harapan kembali memuncak hanya untuk sesaat saja karena ternyata antrian pintu tol Bandara juga tidak lancar. Kembali dengan Mode Bajaj nya, Pak Supir mencoba menyelamatkan nasib bos nya yang sebenarnya tampak santai saja dari tadi. Saya yang duduk di sebelah Pak Supir sudah mulai berkeringat dingin.


Alhamdulillah, Kami dapat turun di Pintu keberangkatan 2F, T3 waktu itu belum ultimate, pada pukul 14.55. Dengan berlari-lari kami menuju konter check-in Gold Member yang sudah kosong, karena Pak Saragih sudah Gold Member kala itu. Kata petugasnya, para penumpang sudah boarding dan nama kami sudah dipanggil melalui pengeras suara se antero Bandara, untung kami sudah check-in online sebelumnya. Alhamdulillah, kami masih bisa naik ke pesawat dengan berlari-lari dari counter check in ke pintu garbarata. Dengan nafas yang terengah-engah, saya hanya bisa mengucap syukur kepada Allah Subhana WaTa'ala. Pesawat yang kami tumpangi take off tidak begitu lama dari jadwal seharusnya.


Ini bukanlah kali pertama saya naik pesawat plat merah langganan aparatur sipil ini, jadi saya tidak terlalu canggung bagaimana harus bersikap. Kurang dari satu jam, kami mendarat dengan aman di Bangka di sore yang indah itu.


Kami ke Bangka dalam rangka menghadiri sebuah hajatan dari lembaga negara lainnya yang mengadakan sosialisasi, Pak Saragih hadir sebagai pembicara dan saya mendampingi beliau. Karena sebagai pembicara, beliau, dan saya yang selalu mengekor, dijemput dari Bandara oleh panitia dan sudah disiapkan kamar hotel untuk menginap.


Itu adalah kali pertama saya menginap di hotel berbintang 4 di Indonesia jadi saya banyak kurang ngerti tentang bagaimana cara menggunakan beberapa item yang disediakan hotel. Ketika masuk kamar yang masih gelap, saya mencoba menekan saklar lampu yang persis menempel di dinding di depan pintu kamar ketika terbuka, namun lampunya tetap tidak menyala. Pak Saragih lah yang menunjukan hebatnya kartu yang diberikan Mbak Resepsionis, bisa buka pintu kamar dan menyalakan lampu kamar. Sebagai melenial melek teknologi, saya malu untuk mengakui momen ke-katro-an itu. 


Kalau saarapan ala  buffet sebenarnya bukan hal yang baru bagi saya karena beberapa bulan sebelumnya saya sudah pernah juga nginap dengan hotel sarapan buffet. Tapi tetap saja, saya canggung dalam memilih urutan makannya. Kalau ikut saran ahli gizi, maka makanan yang dimakan diawal adalah buah-buahan dilanjutkan makanan tinggi karbo. Tapi kalau liat orang-orang yang berpakaian rapi pagi itu, sarapan mereka gak berutan. Akhirnya, demi jaga image, saya makan sesuai tuntunan ahli dengan porsi jaim juga.


Acara yang kami hadiri dilaksanakan di hotel yang sama dengan tempat kami menginap. Meski ini adalah perjalanan dinas pertama saya dan langsung bertugas mendampingi atasan, saya sudah memiliki bayangan tentang apa apa yang harus saya lakukan karena sudah di briefing oleh senior sebelum berangkat. Alhamdulillah semua berjalan lancar dan saya banyak belajar tentang bagaimana harus bersikap dan apa yang harus saya lakukan ketika menghadiri acara seperti ini. 


Pengalam perjalanan dinas pertama saya yang sangat nano-nano dan berharga bagi saya dengan segala drama nya.


Btw dramanya masih berlanjut ketika kami pulang, Pak Saragih yang membeli oleh-oleh berupa kerupuk khas Bangka menitipkan saya untuk membawanya ke kantor. Ketika sampai kemudian turun pesawat  di Cengkareng, tepatnya di area pengambilan bagasi, saya baru teringat meninggalkan oleh-oleh tersebut di tempat penyimpanan di atas kabin. Saya berlari balik ke arah parkir pesawat, di depan pintu saya dicegat petugas dan dibilangin bahwa barang yang tertinggal harus diambil di tempat lost n claim. Alhasil, saya menghabiskan dua jam buat menyelamatkan oleh oleh buat teman teman di kantor.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.