MSMA : Long Jelet, Desa di belantara Borneo

September 12, 2020

Inspired by notorious adventure series in Indonesia television,

This is....
My SPPD....
My Adventure....

Episode 3 My SPPD My Adventure ini pakai bahasa Indonesia aja gaes, belum sempat translate dari tulisan yang sama di blog lama ane. Sekaligus masih ajang bersih-bersih blog lama ceritanya.



Desa Long Jelet, Kecamatan Pujungan, maupun kabupaten Malinau, merupakan daerah yang mungkin jarang kita dengar di televisi maupun media massa mainstream nasional lainnya, mungkin di RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) yang dipakai waktu sekolah SD pun mungkin kita tidak menemukan.  Tetapi desa tersebut memang ada dan cukup dikenal di kalangan pecinta konservasi lingkungan internasional. Karena memang tugasnya, saya sudah 2 kali berkunjung ke desa yang berada di wilayah Provinsi Termuda tersebut.

Desa Long Jelet terletak di Jantung Pulau Borneo  dan salah satu desa terluar republik ini dari tapal batas Republik Indonesia – Kerajaan Diraja Malaysia. Meskipun menjadi desa terkahir sebelum perbaatasan, kata penduduk aslinya, untuk sampai ke tapal batas dibutuhkan berjalan kaki selama 4-6 hari berjalankaki.

Untuk mencapai desa ini, dari Jakarta dibutuhkan waktu 52 jam perjalanan meski tidak semua jamnya berada di kendaraan.  Jika menggunakan pesawat paling pagi dari Jakarta menuju tarakan via Balikpapan atau lansung, serta tambahan 2 jam menaiki speed boat regular Tarakan (kota paling maju di provinsi Kalimantan utara) menuju Tanjung Selor (Ibu kota provinsi Kalimantan utara), maka 24 jam pertama perjalanan anda digenapkan dengan menginap Tanjung Selor untuk menumpangi long boat dari tanjung selor ke Long Pujungan, Ibu kota Kecamatan Pujungan Kabupaten Malinau. Saat ini, belum banya tersedia hotel besar di Tanjung Selor. Pagi sekali, biasanya akan ada longboat  milik warga kecamatan pujungan yang akan kembali ke kampung mereka di hulu salah satu batang air terbesar di Kalimantan tersebut.



Bukan di dermaga besar dengan peralatan bongkar muat yang lengkap, namun cuma sandaran kapal di belakang rumah.  Disitulah perjalanan beratnya dimulai. Dari photo diatas agaknya dapat dibayangkan apa itu longboat dan kondisinya. Biasanya terdiri dari 3 motor tempel perahu berukuran masing-masing 40 kW, beberapa barel bensin yang dikonsumsi sendiri oleh mesin, maupun untuk dijual di hulu nanti. Di depannya lagi digeletakan barang-barang yang akan dibawa untuk dipakai pribadi pemilik kapal atau dijual kembali. Mulai dari semen, bahan makanan pokok, bahan bangunan, barang pecah belah lainnya, semua barang yang bisa muat, mungkin ada disana. Didepannya lagi tersedia beberapa papan yang menjadi tempat duduk bagi penduduk atau tamu yang ingin ikut rombongn dengan tujuan sama.

Jika kapal dikemudikan oleh seorang nakhoda, Long boat dikendalikan oleh sebuah sistem yang mungkin sedikit berbeda. Pemimpin perjalanan  biasanya adalah pemilik longboat, dia yang akan mengurus dan memerintahkan semua stafnya, sehingga ia tidak memiliki posisi pasti untuk berdiam, bisa di bagian belakang untuk mengatur mesin-mesin tempel, di tengah sambil berisitirahat bersama rombongan, kadang di bagian paling depan perahu sembari menggerakan tangan kanan atau kirinya ketika ada pengahalang di depan perahu. Tugas terkahir itu sebenarya adalah tugas Juru Kayu / Batu, jika Sang Pemilik lebih memilih menegerjakan hal lainnya. Terakhir, Sang Motorist, pria dengan otot bisep – trisep di kapal, mengatur kecepatan dan arah jalan dari perahu, hampir tak pernah berhenti memutar pedal gas dan mengarahkan mesin tempel sesuai kebutuhan.




Perjalanan pulang pergi Tanjung Selor – Pujungan adalah pejalanan  panjang nan dapat dirasa berbeda kenikmatannya bagi masing-masing pribadi. Bagi mereka yang hidup dan dan menghabiskan hari di jalanan ibu kota dengan pemandangan gedung-gedung tinggi nan mengkilat, rumah toko rumah toko, dan jalanan nan dipenuhi kendaraan yang berjalan pelan maka perjalanan Tanjung Selor – Pujungan adalah kenikamatan bagi mata anda. Sepanjang 36 jam lebih perjalanan, dari jam 5 sore sampai 6 pagi long boat bersandar di tepi sungai dan penumpanya tidur di pinggiran sungai sepanjang malam, anda tidak akan menemukan hal-hal yang menjadi polusi di mata tersebut. Sungai dan anak-anaknya yang keruh berwarna coklat karena hujan sebelumnya dan rimba borneo di kanan-kirinya, cahaya langit yang tidak terpengaruh warna lampu jalan, dan kadang binatang khas hutan yang sedang mencari makan adalah hal-hal yang mungkin anda lihat selain teman sebelah anda. Atau anda dapat menikmatinya dengan menjalankan  SOP seorang backpacker ketika diperjalanan, mendengarkan musik dari earphone membaca buku novel nan tebal sembari menghirup udara segar yang mungkin tidak dapat dinikmati sehari-hari. Satu hal yang mesti diingat bahwa mesin tempel perahu mengeluarkan kebisingan. Saya sendiri memilih tidur selama mungkin,  di sela-selanya befikir tentang kemaslahatan bumi yang semakain tua.

Perjalana Tanjung Selor – Pujungan bukanlah bagian terkahir untuk sampai ke Desa Long Jelet, dibutuhkan 2 jam lagi menggunaka ketinting dari Pujungan ke Tanjung Selor. Perahu kecil dengan motor seperti pada pemotong rumput, gambaran yang paling mendekati untuk ketinting menurut saya. Selama perjalanan di sungai, terdapat berapa rintangan di tengah atau di pinggir sungai yang biasanya terdiri dari batu yang sangat besar sehingga menimbulkan “turbelensi” aliran air sungai, oleh warga setempat halangan oleh batu tersebut disebut dengan Giram. Maka ketika perahu, baik longboat atau ketinting, melewati daerah tersebut, anda akan merasakan sensasi adrenalin yang akan mempercepat denyut nadi. Terkadang dibeberapa giram yang sangat, penumpang dan barang harus turun dan perahu kemudian meyisir di sisi sungai agar perahu bisa melewati giram tersebut dengan selamat.


 Video

 

 Perjalanan panjang Jakarta – Long Jelet, yang pada keadaan air sungai normal 3 hari dan dimusim kemarau bisa lebih, menunjukan betapa besarnya Bumi Nusantara ini. Bisa dibayangkan berapa waktu yang diperlukan seorang penduduk Pulau We di Aceh untuk menuju Desa Jabanda, Kabupaten Kerom, Provinsi Papua. Maka jangan heran kenapa terdapat kesenjangan di semua lini kehidupan antara Jakarta dan daerah-daerah terluar, itu semua adalah Butterlfy Effect dari “Jarak”.

Desa Long Jelet sendiri hanya dihuni 23 kepala keluarga, mereka adalah penduduk asli sana turun temurun, mereka sebenarnya telah berkembang dari segi jumlah dari generasi ke genarasi. Beberapa ada yang merantau ke Pujungan atau Tanjung Selor atau Tarakan. Ada yang karena bersekolah dan ada juga karena mengadu nasib. Di Long Jelet sendiri hanya ada 1 (satu) sekolah dasar, fasilitas kesehatan desa, dan gereja. Penduduknya bertahan hidup dari berburu di hutan dan sungai, bercocok tanam, dan katanya dari dana bantuan dari pemerintah.

Desa ini cukup intens dikunjungi turis asing, sehari sebelum kedatangan saya, sepasang bule Austria menghabiskan hari disana. Katanya ada sebuah air terjun dengan pemandangan yang bagus di dekat desa itu. Ada juga bangunan konservasi lingkungan milik WWF yang menunjukan ada yang special di desa kecil ini.



Dan satu hal terpenting di desa ini adalah Pos Pengamanan Perbatasan Republik Indonesia – Malaysia milik TNI. Pos yang menjadi benteng terdepan dari kedaulatan tanah air di mata tetangga. Pos ini dijaga oleh 1 regu (atau  peleton, saya tidak terlalu yakin) dari TNI yang bergilir selama 10 bulan. Sehari-hari mereka tidak hanya melaksanakan tugas pengamanan saja, bahkan lebih. Seperti membatu warga pada pembangunan fasilitas umum, mengajar anak-anak kecil disana, bahkan bercocok tanam. Walaupun suply amunisi dan logistik mereka dikirimkan lansung ke lokasi dengan helikopter, mereka juga bercocok tanam untuk mengantisipasi suply yang tidak lancar.




Menghabiskan waktu 5 hari untuk sampai kembali ke Jakarta, melihat kehidupan Ksatira Penjaga Negara, dan berinterkasi dengan penduduk aslinya, mengingatkan saya akan beberapa hal kecil yang sering luput dari perhatian namun sangat berpengaruh pada kehidupan. Lama perjalanan longboat Tanjung Selor – Pujungan yang bervariasi tergantung kondisi debit air di sungai menjadikan hidup kita kepada Tuhan melalui makhluknya bernama Alam. Semua pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup yang tidak bisa dipenuhi sendiri bergantung pada kondisi sungai tempat memindahkankannya. Semua prediksi dan perhitungan kalkulasi tentang lamanya waktu yang dibutuhkan hanya menjadi lelucon ketika Tuhan berkehendak lain.

Tentang perjuangan prajurit bangsa dalam mempertahankan setiap jengkal tanah bumi pertiwi dan bagaimana mereka menghabiskan sisa waktu dengan kegiatan bermanfaat diluar tugas, pokok, dan fungsi mereka. Tentang keikhlasan untuk berpisah dalam bukan jangka waktu yang pendek serta bagaimana bersama-sama dengan saudara baru yang dipertemukan oleh Tuhan. Tentang bagaimana keberanian penduduk asli desa dalam mempertaruhkan hidup di hutan belantara untuk mencari bahan makanan bagi keluarga dan bagaimana ke-tiada-cemas-an mereka dalam menjalani hidup dengan hanya bergantung pada alam, bergantung pada ketentuan Tuhan, Allah SWT.

BUBARKAN !!!

Foto-foto lainnya:

Foto dari Penginapan


Barak Pos Pengamanan



 

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.