MSMA : Desa Sinar Pagi, Seluma, Bengkulu

Oktober 16, 2020

Inspired by notorious adventure series in Indonesia television,

This is....
My SPPD....
My Adventure....

Episode 4 MSMA ini masih cerita dari blog lama ridhoarisyadi.wordpress.com dan belum sempat di translate ke bahasa inggris. Ini cerita perjalanan dinas pertama saya ke daerah dalam rangka cek PLTS yang sudah lama dibangun, cerita ini sudah disadur beberapa kali, termasuk untuk tulisan di birokratmenulis.com ini dan jadi bagian salah satu cerita di buku Diary of a Green Soul .  jadi selamat menikmati aja gaess...

Satu-satunya sekolah di Desa Sinar Pagi

Berdasarkan sebuah surat perintah Nomor sekian sekian / sekian / IJN /2015, saya diperintahkan untuk inventarisasi  dan pemeriksaan fisik barang milik negara di 4 kabupaten di Provinsi Bengkulu, salah satu aset BMN yang tim tempat saya bernaung adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terpusat 15 kWp di Desa Sinar Pagi, Kecamatan Seluma Utara, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

Desa Sinar Pagi di Google Maps

Desa Sinar Pagi terletak di salah satu bukit di deretan Bukit Barisan nan Perkasa yang menopang Pulau Sumatera di Lempeng Eurosia. Bukit tersebut berada dekat dengan perbatasan Bengkulu dengan Sumatera Selatan tampak pada Peta. Berpenduduk sekitar 800 jiwa, untuk mencapai desa tersebut sangatlah tidak mudah.

Tim kami berangkat dari Kota Bengkulu ke Pusat Perkantoran Kabupaten, Pematang Aur, Seluma untuk berkoordinasi dengan dinas terkait sebelum ke lokasi, perjalanan ditempuh dalam 90 menit. Dari Kantor Dinas tersebut, kami bergerak menuju ke lokasi PLTS terpusat yang dibangun menggunakan dana APBN tersebut. Tiga puluh menit pertama perjalanan masih melalui jalan yang bagus nan mulus melewati jalan provinsi sepertinya. Selepas waktu tersebut dari ujung aspal perjalanan hingga satu setengah jam perjalanan, jalan yang dilalui adalah jalan berlubang dan berbatu yang dulu sepertinya pernah baik dan mulus. Beberapa kali mobil yang kami tumpangi tidak kuat untuk menanjak dijalan berkontur kasar tersebut sehingga kami harus turun dari mobil untuk mempermudah pengemudi melewati rintangannya.



Kemiringan tanjakan yang sebenarnya lumayan curam


Hingga pada Desa Talang Empat, Bapak Pengemudi menyerah untuk melanjutkan perjalanan sampai pada titik yang lebih jauh, lebih karena faktor keselamatan mobil serta penumpang sepertinya jika melihat perawakan bapak pengemudinya. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan motor modifikasi kepunyaan warga yang telah hafal dengan medan yang dilalui. Diputuskan bahwa Bapak Ketua Tim, Bapak Perwakilan dari Dinas Daerah, dan saya yang melanjutkan perjalanan ke atas hingga ke lokasi PLTS bersemayan.
Setelah 45 menit naik motor berboncengan dengan jalan yang semakin memprihatinkan, saya disuruh turun ketika melewati sebuah jembatan gantung dari kabel baja, penghubung 2 bukit yang terbelah oleh sungai dimana di punggung  bukit seberang jembatan, tempat disusunnya modul surya tersebut.

Jembatan gantung, satu-satunya jalan masuk ke Desa Sinar Pagi


Motor harus bertransformasi untuk menembus medean berikutnya

Dari tepi sungai hingga ke Desa Sinar Pagi ditempuh selama hampir 1 jam dengan membonceng motor yang telah bertransformasi, namun saya lebih banyak berjalan mendaki bukit karena jalan setapak yang sangat kecil dan curam. Energi yang dibutuhkan untuk tracking tersebut rasanya sama dengan Half Marathon bulan lalu.


Kondisi PLTS 

Sampai di lokasi semua rasa lelah terasa hilang tak bersisa setelah mengetahui bahwa PLTS masih terawat dengan baik dan dimanfaatkan dengan tepat oleh penduduk Desa Sinar Pagi. Mereka merasa sangat terbantu dan bersyukur sekali atas bantuan yang memang mereka butuhkan ini. Berapa di punggung bukit dan hanya dihuni oleh kurang lebih 125 kepala keluarga, dapat dipastikan PLN tidak akan mau secara ekonomis untuk menyambung jaringan tegangan listrik ke desa yang dipimpin oleh seorang ibu-ibu ini.  Sehingga PLTS terpusat ini menjadi solusi walaupun seharusnya bukan solusi permanen.


PLTS ini dikelola secara swadaya oleh masyarakat desa, setiap kepala keluarga membayar iuran Rp. 20.000 setiap bulannya untuk operasional pembangkit listrik dari cahaya matahari ini. Salah seorang diantara mereka telah dilatih dan dididik untuk merawat dan mengoperasikan PLTS dengan 78 battery ini. Bang Asti namanya.


Bang Asti dengan PLTS yang dijaganya
 

Penduduk Desa Sinar Pagi rata-rata mencari nafkah dengan berkebun kopi dan tanaman produktif lainnya di sekitaran bukit tempat mereka bermukim. Ketika beristirahat di salah satu rumah penduduk, Kami disuguhi kopi yang mereka petik dari kebun sendiri dan ditumbuk sendiri hingga menjadi bubuk kopi yang siap seduh. Dihidangkan dengan air matang yang direbus dari kayu bakar dan sedikit gula serta memandang matahari yang mulai tenggelam di balik kebun milik masyarakat, menyadarkan saya kenapa mereka tidak pindah saja ke desa yang lebih mudah diakses dengan fasilitas yang lengkap.


Tulisan ini saya buat bukan  untuk membanggakan 12 jam perjalanan saya, bukan untuk menyombongkan kesempatan yang di lalui apalagi  untuk menampilkan ego sektoral tempat saya mengabdi. Tetapi karena ada hikmah yang saya rasakan sore itu yang ingin saya bagi pada tulisan ini sebagai pengingat bagi saya dikemudian hari atau sekedar penambah referensi dan pandangan rekan-rekan semua. Bukan juga untuk menggurui apalagi mengajari karena saya tau bahwa ilmu saya jauh lebih cetek dari rekan-rekan dan pengalaman saya tidak ada seujungkukupun dari rekan-rekan. Lebih kepada untuk saling mengingatkan dalam kebaikan.


Bahwa ternyata masyarakat Desa Sinar Pagi, yang saya yakin, mohon maaf, pendidikannya tidak lebih tinggi dari rekan-rekan semua telah menyadari arti penting dari energi listrik sehingga mereka menggunakannya dengan sangat bijak dan teliti dengan mengamalkan prinsip-prinsip penghematan energi. Keterbatasan energi listrik yang mereka dapatkan, membuat mereka memilih menggunakannya pada hal-hal penting dan bermanfaat sekaligus dengan hemat. Lampu penerangan di malam hari untuk belajar anak-anak mereka atau mungkin untuk mengisi kembali daya pada  alat komunikasi mereka, hanya itu yang mungkin mereka dahulukan. Semua mereka lakukan dengan perhitungan dan pertimbangan atas daya yang dapat dihasilkan PLTS dan dapat mereka gunakan pada hari itu.

Lampu jalan menyala di sore hari

Saya yakin ketika mereka mampu, mereka tidak akan menghidupkan televisi namun tetap fokus pada pekerjaan di komputer, mereka tidak akan tidur dengan AC yang diatur pada suhu 22 derajat celcius namun memakai selimut tebal, terkadang double, Mereka tidak akan lupa mematikan lampu kamar mandi ketika tidak terpakai. Mereka tidak akan lupa mematikan kulkas ketika tidak ada isinya. Karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan yang supply energi listrik yan terbatas.


Lalu bagaimana dengan saya, atau sebagian dari rekan rekan ?. Apakah kita terlena dengan ketersediaan energi listrik yang melimpah dan jarang terjadi gangguan seperti yang mungkin kita rasakan. Terlena dengan fakta bahwa kondisi sebenarnya tidak lah se-nyaman itu. Bahwa Negara kita akan kehabisan sumber energi primer untuk pembangkit listrik hanya dalam beberapa puluh tahun lagi.


Kita seharusnya tersadar bahwa hidup hemat energi, efisien dalam pengunaan energi listrik adalah hal yang dapat dan wajib kita lakukan bersama dalam rangka menyelamatkan kita dari krisis energi suatu saat nanti, walau mungkin hanya dapat menunda krisis beberapa puluh tahun, namun itu pasti membantu.


Hidup hemat energi itu gampang dan tidak susah dipraktekan, saudara sebangsa dari rekan-rekan yang hidup di Desa Sinar Pagi, Seluma, Bengkulu ini buktinya. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan dan rasa keterpaksaan untuk berhemat pada diri sendiri.


Untuk memulai praktek hidup hemat energi dari sekarang, akan lebih baik jika rekan-rekan men-standby-kan  smartphone atau komputer jinjing masing dari pada membaca tulisan ini. Lumayan, hemat beberapa Watt baterainya. ;-)



btw, ngetrail di bukit itu seru juga ternyata

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.